Senin, 05 Oktober 2009

NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF PANCASILA 

NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF PANCASILA 

Oleh

Sudjito bin Atmoredjo 

Kenali Negara kami, kenali hukum kami !.
Hukum kami adalah jiwa kami, darah, daging, tulang-belulang kami,
mengakar kuat dalam bumi pertiwi,
tumbuh, berkembang, menjulang, menyapa ramah tetangga dan lingkungan kami,
Hukum kami adalah hidup dan kehidupan kami,
Hukum kami adalah jati diri Negeri kami,
Indonesia.
Pendahuluan
Salah satu topik yang diangkat pada Kongres Pancasila kali ini “Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila”. Secara khusus diminta agar kajian difokuskan pada 3 (tiga) hal, yaitu:
1. Negara Hukum (dari rechtstaat menuju rule of law).
2. Peran Pancasila dalam pembentukan hukum termasuk tata urutan hukum.
3. Posisi Pancasila sebagai Dasar Negara dan sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia.
Hemat kami, sesungguhnya, teramat banyak aspek-aspek yang harus dikaji sehubungan dengan topik itu. Terdapat banyak permasalahan tersimpan di dalamnya. Keseluruhannya merupakan pekerjaan rumah yang luas, besar dan berat bagi bangsa ini. Daripadanya perlu ada kesadaran bersama untuk secara terus-menerus dan berkesinambungan menggarap pekerjaan rumah ini. Di sini perlu ada kesamaan komitmen, visi dan misi, yaitu menjadikan Negara hukum Indonesia sebagai “rumah nyaman yang membahagiakan bagi segenap komponen bangsa.“
Permasalahan-permasalahan yang ada di depan mata dan masih terus mengganggu kenyamanan kita bernegara hukum, antara lain: Pertama, sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah lahir. Sejak kelahirannya itu telah diumumkan mengenai bentuk negara yaitu republik. Di samping itu secara eksplisit diumumkan pula bahwa Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat). Jadi secara formal Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat). Akan tetapi, bernegara hukum tidak cukup pada tataran formal saja, melainkan harus diikuti dengan upaya-upaya mengisi negara hukum tersebut dengan berbagai perangkat dan perilaku hukum agar benar-benar menjadi negara hukum substansial. Pada tataran ini, masih terdapat perbedaan-perbedaan tajam mengenai pemikiran negara hukum; sebagian ingin berkiblat ke Barat, dan sebagian lain ingin membumi pada nilai-nilai kultural Indonesia asli. Kongres ini merupakan bagian dari upaya menjadikan negara hukum substansial itu. Dapatkah di antara perbedaan pemikiran tersebut diperoleh titik temu ?
Kedua, secara empiris kita belum memiliki banyak pengalaman bernegara hukum. Memang, sejak dijajah Belanda maupun Jepang, kita sudah hidup bernegara hukum. Akan tetapi posisi kita pada waktu itu bukan sebagai subjek pengelola, melainkan sebagai objek penderita. Ketiadaan pengalaman bernegara hukum itu terbukti berpengaruh besar pada kesiapan bangsa ini ketika tiba-tiba harus mandiri dalam mengelola negara hukum. Banyak sekali kesulitan, kendala, hambatan yang belum mampu diselesaikan dengan baik sehingga menyisakan kepedihan, ketidakadilan dan ketidaknyamanan kehidupan. Apakah kepedihan-kepedihan itu merupakan keniscayaan dari sebuah proses menuju kematangan bernegara hukum?
Ketiga, rechtstaat sebenarnya merupakan konsep negara modern yang khas Eropa. Konsep modern ini dibawa masuk ke Indonesia oleh Belanda melalui penjajahan. Belanda sendiri mengalami kesulitan untuk memberlakukannya secara konsisten. Tindakan maksimal yang dapat dilakukan sekedar pencangkokan (transplantasi) hukum modern ke dalam sistem hukum adat yang telah berlaku mapan bagi golongan pribumi. Hukum modern tersebut diberlakukan bagi golongan Eropa dan Timur Asing, sementara itu bagi golongan pribumi tetap berlaku hukum adatnya masing-masing. Sebenarnya sekarang kita masih berada dalam masa pencarian, konsep negara hukum seperti apa yang cocok untuk Indonesia itu. Dengan kata lain, konsep Negara hukum Indonesia itu masih belum jelas, karena masih berada dalam proses pencarian. Kiranya wajar saja apabila kondisi sistem hukum Indonesia saat ini masih tergolong buruk, bahkan lebih tepat kita belum memiliki sistem hukum. Apakah kita ingin mengoper-alih konsep rechtstaat, memodifikasi atau sekedar mempelajari sebagai perbandingan untuk mendapatkan konsep Negara hukum Indonesia ?
Keempat, secara ideologis kita sepakat untuk membangun Negara hukum versi Indonesia yaitu Negara hukum berdasarkan Pancasila. Pancasila kita jadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Nilai-nilai Pancasila harus mewarnai secara dominan setiap produk hukum, baik pada tataran pembentukan, pelaksanaan maupun penegakannya. Apabila Negara hukum Pancasila nanti telah terbentuk, tidaklah menjadi persoalan ketika ternyata Negara hukum tersebut berbeda dengan rechtstaat di Eropa atau Amerika. Hal terpenting adalah konsep Negara hukum Pancasila itu harus mampu menjadi sarana dan tempat yang nyaman bagi kehidupan bangsa Indonesia. Bagaimana supaya posisi dan peran Pancasila dalam bernegara hukum yang kini meredup dapat disegarkan kembali ?

Negara Hukum bukan Rechtstaat
Terus terang, bagi kami terasa ada hal yang kontradiktif antara topik dan 3 (tiga) pokok kajian di atas. Pada satu sisi diinginkan agar ada kajian tentang Negara hukum yang betu-betul khas Indonesia, yaitu Negara hukum yang didasarkan pada Pancasila. Kalau demikian halnya, maka sedari awal diperlukan adanya kesediaan untuk membebaskan diri dari belenggu pemikiran-pemikiran asing, khususnya pemikiran Barat mengenai rechtstaat. Kalaupun pemikiran asing dihadirkan sekedar untuk perbandingan agar kajian menjadi lebih berkualitas dan meyakinkan. Namun pada sisi lain, pokok-pokok kajian yang diminta dicari solusinya justru telah menunjukkan keberadaan Negara hukum tersebut pada pemikiran Barat. Kata-kata rechtstaat dan rule of law, jelas berasal dari Eropa. Pengertiannya tidak mungkin diterima sebagaimana aslinya, kemudian dioper-alihkan dan digunakan di Indonesia.
Negara hukum (rechtstaat), jelas bukan sembarang nama. Nama adalah doa, harapan dan cita-cita. Nama yang terkesan Indo-Barat ini telah melekat erat pada UUD 1945 (sebelum amandemen keempat). Ketika Negara ini diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, para pendiri Negara (the founding fathers) pasti telah memperhitungkan dengan cermat, matang dan hati-hati segala konsekuensi yang harus ditanggung oleh segenap komponen bangsa pada generasi-generasi sesudahnya. Secara eksplisit dipesankan bahwa penamaan itu dimaksudkan agar sistim pemerintahan Negara diselenggarakan berdasar atas hukum, dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Berkenaan dengan pesan demikian maka para generasi penerus wajib memikirkan mengenai konsep sistem hukum nasional yang khas Indonesia, selaras dengan sebutan sebagai Negara hukum (rechtstaat) tersebut. Pada hemat kami, lebih dari sekedar pesan tekstual tersebut, apabila UUD 1945 tersebut dibaca secara mendalam dan menyeluruh, sejak jiwa dan semangat sampai dengan perumusan pasal demi pasal, akan dapat ditangkap adanya pesan yang lebih bermakna, bahwa hakikat Negara hukum adalah bangunan (organisasi) seluruh rakyat Indonesia, sebagai tempat berinterkasi, musyawarah, saling memberi dan mencintai agar dicapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam naungan ridha Illahi. Secara bijak, the founding fathers menyampaikan pesan bermakna tersebut dalam bentuk rumusan tujuan Negara dan Dasar Negara, yaitu:
1. melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. memajukan kesejahteraan umum;
3. mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
4. ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan Negara tersebut disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia dalam suatu UUD Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila.
Mencermati pesan-pesan di atas, kiranya dapat ditarik benang merah bahwa sebenarnya konsep Negara hukum Indonesia merupakan perpaduan 3 (tiga) unsur yaitu Pancasila, hukum nasional dan tujuan Negara. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan utuh. Pancasila merupakan dasar pembentukan hukum nasional. Hukum nasional disusun sebagai sarana untuk mencapai tujuan Negara. Tidak ada artinya hukum nasional disusun apabila tidak mampu mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam naungan ridha Illahi.
Dengan demikian, secara skematis posisi dan peran Pancasila terhadap hukum nasional dan tujuan negara adalah sebagai berikut :










Rechtstaat adalah konsep negara modern yang pertama kali muncul di Eropa dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Kemunculannya bukan secara tiba-tiba melalui sebuah rekayasa penguasa, melainkan melalui sejarah pergulatan sistem sosial. Secara singkat dapat diceritakan bahwa Eropa sebelum abad 17 diwarnai oleh keambrukan sistem sosial yang berlangsung secara susul-menyusul dari sistem sosial satu ke sistem sosial lain. Dimulai dari feodalisme, Staendestaat, negara absolut, dan baru kemudian menjadi negara konstitusional. Eropa, sebagai ajang persemaian negara hukum membutuhkan waktu tidak kurang dari sepuluh abad, sebelum kelahiran rule of law dan negara konstitusional. Masing-masing keambrukan sistem sosial tersebut memberi jalan kepada lahirnya negara hukum modern. Ambil contoh, Perancis. Negara ini harus membayar mahal untuk bisa menjadi negara konstitusional, antara lain diwarnai dengan pemegalan kepala raja dan penjebolan penjara Bastille. Belanda, harus memeras negeri jajahan (Indonesia) dengan cara mengintroduksi sistem tanam paksa (kultuur stelsel, supaya bisa tetap hidup (survive). Hanya dengan pemaksaan terhadap petani di Jawa untuk menanam tanaman tertentu dan pengurasan hasil pertanian, Belanda bisa berjaya kembali. Amerika Serikat, harus mengalami perang saudara sebelum berjaya sebagai negara besar dan kuat.
Kelahiran Indonesia sebagai Negara hukum tidak melalui proses pergulatan sistem sosial seperti yang terjadi di Eropa. Indonesia menjadi Negara hukum karena “dipaksa” melalu pencangkokan (transplantasi) hukum oleh Belanda. Pemaksaan ini dilakukan tanpa melalu proses musyawarah ataupun menunggu keambrukan suatu sistem sosial Indonesia. Proses kelahiran Negara hukum Indonesia tergolong instan, cepat, melalui sebuah lompatan sistem sosial dari tradisional dan feodalisme langsung ke negara hukum. Substansi Negara hukum pada masa penjajahan menjadi sangat kompleks, yaitu berlaku dualisme hukum (hukum Barat dan hukum adat) pada wilayah yang sama dan dalam waktu bersamaan pula. Lebih kompleks lagi bahwa hukum adat sendiri bersifat kedaerahan, komunalistik, religius, sehingga terdapat pluralisme hukum di Indonesia pada waktu itu.
Terkait dengan perbedaan-perbedan yang cukup tajam antara Negara hukum dan Rechtstaat, maka kesepakatan mengenai aturan main dalam menjalankan sistem pemerintahan Negara pun menjadi berbeda pula. Pada rechtstaat terdapat prinsip bahwa penyelenggaraan pemerintahan Negara harus didasarkan pada rule of law. Artinya, hukum negara ditempatkan sebagai pengendali utama dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara. Puncak dari hukum negara adalah konstitusi. Jadi ada supremasi hukum. Rechtstaat harus konstitusional. Siapapun orang yang memegang pemerintahan Negara, tidak boleh memerintah kecuali atas dasar hukum negara. Prinsip ini digunakan secara tegas dan ketat, agar selera seseorang pemimpin tidak mencemari penyelenggaraan pemerintahan Negara sehingga mewnjurus menjadi negara kekuasaan (machtstaat).
Negara hukum Indonesia seperti tergambar di atas jelas bukan rechtstaat sebagaimana konsep aslinya. Rule of law yang khas bagi rechtstaat, tidak mudah berlaku di Indonesia. Kehidupan bernegara hukum tidak serta merta menjadi tuntas karena hukum negara sudah dijalankan secara konsisten. Hukum Negara masih perlu terus dikritisi, karena sering cacat ideologi, sehingga sarat dengan nilai-nilai dan kepentingan ideologi asing. Kalaupun hukum negara sudah bagus, hukum negara harus berinteraksi dengan jenis hukum-hukum lain. Dalam interaksi tersebut ada berbagai kemungkinan kejadian. Mungkin hukum negara mendominasi hukum adat maupun hukum internasional. Bisa pula hukum adat justru ditempatkan lebih utama dari negara dan hukum internasional. Tak tertutup kemungkinan, justru hukum negara dan hukum adat dihegemoni oleh hukum internasional. Ada pelaksanaan hukum yang mekanis-linier, tetapi ada pula pelaksanaan hukum yang sangat personal dan kontekstual. Pendek kata, teramat sulit dirumuskan aturan main dalam kehidupan bernegara hukum yang pasti, final, universal untuk sembarang tempat dan waktu. Keberlakuan aturan main senantiasa tunduk kepada berbagai faktor dominan di sekitarnya, seperti: faktor politik, budaya, ekonomi, keamanan dan sebagainya. Dihadapkan pada faktor-faktor dominan di luar hukum tersebut, supremasi hukum negara bisa hilang dan digantikan supremasi politik, ekonomi atau yang lain. Proses bernegara hukum, sepintas akan tampak seolah menjadi kacau (chaos). Namun demikian, apabila proses bernegara hukum tersebut diikuti dan dilihat secara utuh (sejak Pancasila, hukum nasional sampai dengan tujuan negara) justru akan tampak bahwa pluralisme hukum mampu menghadirkan ketertiban dan keteraturan dalam skala yang lebih besar. Hal demikian terjadi karena menjalankan negara hukum bukanlah sekedar sebagai rutinitas menjalankan hukum negara, melainkan kebersamaan mewujudkan kehidupan yang lebih baik, didukung komitmen, dedikasi, empati serta perilaku inovatif dan kreatif untuk saling memberi dan melengkapi, antara hukum negara, hukum adat maupun hukum internasional. Oleh sebab itu dalam bernegara hukum diperlukan modifikasi dan dinamisasi rule of law, dan bukan memperbanyak kuantitas hukum negara. Secara empiris telah terbukti ketika produksi Undang-undang melimpah, maka kehidupan justru tidak semakin nyaman tetapi semakin menyesakkan. Jadi, bernegara hukum tidak dapat diukur dari kuantitas peraturan perundang-undangan, melainkan diukur dari kualitas hukum yang fasilitatif dan akomodatif terhadap kebutuhan bangsa.
Di dalam UUD 1945 (sebelum diamandemen) terdapat kata-kata yang ambigu, yaitu Negara hukum (rechtstaat). Kata-kata itu menimbulkan kesimpangsiuran pengertian. Pada satu pihak ada yang mengartikan bahwa kita ingin mencontoh rechtstaat yang telah ada di Eropa dan Amerika, sementara itu pihak lain mengartikan bahwa kita tidak boleh terjebak pada persoalan bahasa, melainkan harus menemukan makna yang cocok untuk Indonesia. Upaya-upaya mengatasi kesimpangsiuran pengertian Negara hukum ini sekarang masih terus kita lakukan dan belum ada titik temu. Para reformis telah berusaha mengurangi kesimpangsiuran pengertian itu dengan cara “meruwat” kata rechtstaat dari UUD 1945. Langkah ini bagus. Akan tetapi sayang tidak diikuti secara konsisten dengan langkah-langkah pembersihan unsur-unsur asing yang mengganggu karakteristik sistem hukum Indonesia yang komunalistik-religius. Misalnya, kita masih menggunakan kata rule of law maupun staatsfundamentalnorm. Pada beberapa Undang-undang maupun pembelajaran hukum masih didominasi dengan kata-kata asing, dan sekaligus ada upaya membumikan pengertian asing tersebut ke dalam sistem hukum Indonesia. Sekali lagi, kita tidak anti hukum asing. Tidak. Kalau memang hukum asing tersebut bagus dan cocok untuk Indonesia, sudah tentu dapat dan perlu diadopsi. Misalnya, kita tidak mungkin selamanya hidup dalam suasana hukum adat yang tidak tertulis. Anak lahir perlu akta kelahiran. Bukti pemilikan tanah perlu sertifikat. Perkawinan perlu akta nikah, dan sebagainya. Kita butuh kepastian hukum tertulis, ketika daya ingat dan rasa saling percaya di antara sesama manusia melemah. Indonesia perlu mencontoh positivisasi hukum seperti itu agar kehidupan menjadi lebih nyaman.
Peruwatan nama rechtstaat sampai dengan saat ini belum tampak pengaruh positifnya pada kondisi sistem hukum kita. Dengan kata lain, membangun Negara hukum tidak cukup dengan meruwat nama, melainkan perlu diikuti dengan perubahan sikap dan perilaku. Membangun Negara hukum bukan sekedar menancapkan sebuah papa nama dan sim-salabim negara hukum pun selesai dibangun. Juga tidak sama dengan bercocok undang-undang, bertanam pengadilan. Membangun Negara hukum adalah membangun perilaku bernegara hukum, membangun suatu peradaban baru.
Rechtstaat dalam keotentikannya senantiasa mempersyaratkan adanya perilaku warga negara dan penyelenggara negara yang rasional, impersonal dan sekuler. Hukum negara dijalankan sebagai institusi yang otonom bagi semua pihak, tanpa pandang bulu dan di atas semua jenis hukum. Dikenal adanya unifikasi hukum, bahwa satu hukum negara (Undang-undang misalnya) berlaku secara nasonal bagi semua warga negara. Pelaksanaan hukum berpegang pada prinsip rule and logic. Azas legalitas ditegakkan, bahwa tiada suatu perbuatan dapat dikenai sanksi hukum kecuali sudah ada aturan tertulis yang jelas dan mengikat. Muncul pula kredo equality before the law. Ada pula semboyan “hukum harus tegak walaupun langit runtuh”. Tidak dikenal pembedaan keadilan formal dan keadilan substansial, melainkan telah dipandang adil apabila hukum negara telah dijalankan secara konsisten. Inilah ciri-ciri perilaku dan hukum pada negara modern (rechtstaat).
Kehidupan bangsa Indonesia tidak mungkin dipaksa masuk secara utuh kedalam sistem sosial yang serba rasional, impersonal dan sekuler tersebut. Kita telah akrab dengan sistem sosial bersifat kolektif, personal, dan religius. Tidak ada kata mutlak atau absolut dalam kehidupan bersama, kecuali keseimbangan, keselarasan, harmonis. Hukum negara bukanlah segala-galanya dan berada di atas manusia, melainkan sebagai bagian perangkat kemanusiaan agar harkat dan martabatnya terjaga. Oleh karenanya, sangat mungkin hukum negara dikesampingkan apabila dirasa mengganggu keselarasan kehidupan bersama. Bali dengan filosofi Tri Hita Karana, dapat ditampilkan sebagai contoh komunitas yang konsisten menjaga keseimbangan dalam kosmologi yang utuh yaitu keseimbangan antara kehidupan mengabdi kepada Sang Yang Widhi Wasa (Parahyangan), kepada sesama manusia (Pawongan) dan kebersatuan dengan lingkungan (Palemahan). Masyarakat Sumatera Barat, dapat ditampilkan pula sebagai contoh untuk mempresentasikan adanya konsistensi kehidupan yang berkiblat kepada hukum agama (Islam) sebagaimana tersirat dalam filosofi “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”. Secara jelas, tampak betapa hukum agama ditempatkan dalam posisi yang tinggi dan menjadi sumber pembentukan hukum adat. Tanpa harus menyebut satu-persatu kiranya tidak terlalu sulit untuk membuktikan bahwa hal-hal serupa terdapat pada seluruh masyarakat adat di Indonesia. Inilah bukti konkrit bahwa semboyan “bhinneka tunggal ika” dalam lambang Negara masih relevan karena mampu mengakomodasi pluralisme hukum.

Pancasila dan Hukum Nasional
Kehidupan bangsa Indonesia terus mengalami perubahan. Perubahan-perubahan itu agar terarah kepada tujuan negara yang telah kita sepakati perlu dilakukan secara sengaja dan terencana. Tidaklah mungkin selamanya manusia Indonesia hidup dalam alam tradisional dan kedaerahan. Sejak adanya Soempah Pemoeda 1928, kita telah berketad berbangsa satu bangsa Indonesia. Dalam semangat yang sama, langkah itu perlu diikuti dengan tekad menyusun hukum nasional.
Kita bersatu bukan untuk meleburkan diri dari jati diri masing-masing. Kemajemukan hukum merupakan bagian dari kemajemukan budaya. Kemajemukan hukum merupakan aset nasional yang berharga dan perlu dijaga. Dari kemajemukan kita dapat saling belajar dan saling memberi sehingga kehidupan menjadi semakin dinamis dan maju. Oleh sebab itu, pengakuan dan penghormatan atas kemajemukan hukum perlu terus dijaga dalam wadah dan semboyan bhinneka tunggal ika.
Indonesia sebagai negara baru supaya dapat berdiri sejajar dengan negara-negara lain perlu membuka diri dan berinterksi dalam percaturan dunia global. Hubungan-hubungan internasional tersebut mensyaratkan adanya hukum nasional yang mampu mengakomodasi hukum internasional. Hukum Internasional harus diterima sebagai bagian dari bahan penyusunan hukum nasional, tanpa harus mengalahkan sifat kenasionalan kita. Artinya, semangat nasionalisme perlu ditempatkan di atas penerimaan atau penyesuaian terhadap hukum internasional. Lebih dari itu perlu dijaga agar nasionalisme itu tidak luntur karena desakan hukum internasional. Dengan kata lain, hukum nasional harus disusun dalam semangat menjaga kedaulatan hukum atas negeri sendiri.
Tanpa mengurangi arti penting untuk membicarakan bidang-bidang hukum lain, perkenankan kami menampilkan hukum agraria nasional sebagai pintu masuk membicarakan hukum nasional. Seperti diketahui bahwa sejak awal kemerdekaan upaya mewujudkan sistem hukum nasional sudah mulai dikerjakan, antara lain dengan melakukan unifikasi hukum di bidang agraria. Hukum agraria nasional sengaja digarap paling awal mengingat dari masalah agraria inilah bangsa Indonesia terlibat dalam berbagai pergulatan sosial, politik maupun hukum. Agraria dan sumberdaya yang ada di dalamnya selalu menjadi objek perebutan penguasaan dan pemilikan, baik antar sesama warga, kelompok, masyarakat adat, kerajaan, dan bahkan negara. Penjajahan atas Indonesia oleh negara asingpun dalam rangka penguasaan agraria tersebut. Oleh sebab itu, sungguh bijak ketika kita merdeka maka perhatian utama diprioritaskan untuk mengatur masalah agraria. Pada satu sisi dengan keberadaan hukum agraria nasional diharapkan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia segera dapat ditingkatkan, sedangkan pada sisi lain keberadaan hukum agraria nasional merupakan sarana untuk mengantisipasi munculnya berbagai konflik pemilikan dan penguasaannya.
Hukum agraria nasional sengaja ditampilkan di sini sebagai contoh hukum yang mampu merangkum semua jenis hukum yang ada di Indonesia dan sebagai hukum yang visioner. Pokok-pokok pengaturan hukum agraria nasional terdapat di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Tidak dapat disangkal, bahwa UUPA merupakan produk perundang-undangan yang mampu bertahan cukup lama, ditengah-tengah pergolakan dan perubahan sosial, politik dan rezim kekuasaan di negeri ini. Betapapun ada sekian banyak desakan untuk merubah bahkan mengganti UUPA dengan dalih reformasi agraria, kenyataan UUPA sampai dengan hari ini masih tegar, utuh dan sah berlaku. Hal demikian rasanya tidak mungkin terjadi, kecuali UUPA mempunyai akar yang kuat dan mendalam pada kehidupan bangsa Indonesia. Akar yang kuat dan mendalam tersebut antara lain berupa nilai-nilai luhur yang daripadanya dibangun hukum agraria nasonal dengan objek-garapan meliputi : bumi, air, ruang-angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana lazim disebut agraria (bumi Indonesia).
Apabila dicermati akan tampak dengan jelas bahwa UUPA secara keseluruhan merupakan konkritisasi nilai-nilai Pancasila. Kandungan nilai-nilai Pancasila pada keseluruhan pasal-pasal di dalamnya mencerminkan adanya hubungan tidak terpisahkan antara Tuhan-manusia-agraria (bumi Indonesia). Pada Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa: ”Seluruh bumi, air dan ruang-angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang-angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Di dalam kata-kata “karunia Tuhan Yang Maha Esa” terdapat kandungan nilai religius yang begitu sakral dan sekaligus mencerminkan karakter teistik, yaitu:
1. Pengakuan adanya kekuasaan di luar diri manusia yang menganugerahkan rahmat-Nya kepada bangsa Indonesia, suatu nikmat yang luar-biasa besarnya. Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa;
2. Pengakuan bahwa ada hubungan dan kesatuan antara bumi Indonesia dengan Tuhan Yang Maha Esa;
3. Pengakuan bahwa ada hubungan dan kesatuan antara bumi Indonesia dengan bangsa Indonesia;
4. Adanya hubungan antara Tuhan-manusia-bumi Indonesia itu membawa konsekuensi pada pertanggungjawaban dalam pengaturan maupun pengelolaannya, tidak saja secara horizontal kepada bangsa dan Negara Indonesia, melainkan termasuk juga pertanggungjawaban vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di dalam UUPA dikenal dan diakui keberadaan hak bangsa, hak ulayat, hak perorangan, hak badan hukum, namun dalam keseluruhannya dibingkai oleh ketentuan Pasal 6 yang berbunyi “Semua hak atas tanah mempunyai funksi sosial”. Penempatan bangsa Indonesia sebagai penerima karunia Tuhan Yang Maha Esa atas bumi Indonesia mengandung makna bahwa bumi Indonesia merupakan kepunyaan bersama seluruh komponen bangsa, sehingga setiap warga negara dihargai sebagai subjek yang mempunyai hak dan tanggungjawab sama dalam pemeliharaan, penggunaan atau peruntukkan bumi Indonesia itu. Secara jelas di dalam Pasal 9 ayat (2) dinyatakan bahwa: “Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Ketentuan ini jelas sangat berpadanan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga ada pengakuan dan penghargaan terhadap subjek lain sebagaimana dirinya sendiri. Lebih lanjut pada Pasal 11 ayat (2) diatur bahwa: “Perbedaaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah”. Pasal ini mengandung nilai moral religius dan moral sosial yang begitu tinggi, yaitu kepeduliannya terhadap realitas plural dalam kehidupan manusia. Kita menyadari, betapapun hak dan kesempatan sama telah diberikan UUPA terhadap setiap warga negara dalam hubungannya dengan bumi Indonesia, namun hasilnya belum tentu sama. Munculnya golongan ekonomis kuat dan golongan ekonomis lemah, merupakan keniscayaan. Kata-kata:“. . . menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah”, merupakan norma hukum yang sarat dengan nilai kemanusiaan. Kaya-miskin, kuat-lemah adalah realitas kehidupan yang tidak perlu dipahami secara terkotak-kotak dan berhadap-hadapan, melainkan sebagai realitas utuh yang saling memberi dan melengkapi. Martabat manusia tidak diukur dengan status sosial yang ditandai oleh besarnya penguasaan atas bagian dari bumi Indonesia, melainkan dari kepedulian terhadap golongan rakyat yang miskin dan lemah.
Tanpa harus mengurai pasal demi pasal, kiranya telah diperoleh gambaran bahwa nila-nilai Pancasila telah mengakar sedemikian kuat dalam UUPA, dan dengan demikian potensial untuk dijadikan sebagai sarana untuk menjelaskan, mengantisipasi dan memberi solusi segala permasalahan hukum agraria di Indonesia. Ini bukan berarti UUPA telah sempurna dan anti perubahan. Tidak demikian. Seiring dengan perkembangan pergaulan global, maka ke depan yang diperlukan adanya hukum agraria internasional yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila agar terdapat hubungan sinergis antara masyarakat adat, negara dan lembaga-lembaga internasional. UUPA secara normatif sangat menghargai keberadan hukum adat. Pasal 5 menyebutkan: ”Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, . . .” Dengan pola pikir holistik, ketentuan dalam Pasal tersebut harus dimaknai bahwa hukum adat merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum nasional dan perlu dikokohkan agar mampu berinteraksi dengan hukum nasional maupun internasional. Dalam keutuhannya, hukum nasional menjadi rusak ketika hukum adat sebagai bagian tak terpisahkan dari hukum nasional lemah. Oleh karena itu, kewajiban bagi segenap komponen bangsa untuk mempertahankan bahkan memperkuat keberadaan hukum adat. Demikian pula halnya, keutuhan hukum nasional menjadi rusak ketika dihegemoni oleh hukum internasional, oleh karena itu segala unsur dan ideologi asing perlu disaring, dan alatnya adalah Pancasila.
Sungguh sangat berseberangan dengan nilai-nilai moral dan semboyan bhinnika tunggal ika, setiap tindakan untuk mengeluarkan posisi dan keberadaan hukum adat dari hukum nasional, misal dengan menyatakan “sudah lemah, bertentangan dengan kepentingan nasional, bertentangan dengan perundang-undangan”, dan sebagainya. Kata-kata seperti itu tidak boleh muncul, baik dalam bentuk teks perundang-undangan maupun pemaknaan. Demikian halnya, sungguh sangat bertentangan dengan semangat nasionalisme ketika hukum nasional didesain sedemikian rupa untuk penyesuaian dengan hukum internasional sekaligus sebagai pembuka pintu masuknya bangsa dan lembaga asing berinvestasi (menjajah) di Indonesia.
Bercermin pada hukum agraria nasional tersebut, maka struktur hukum nasional secara umum dapat digambarkan dalam skema berikut:





















Dari skema di atas, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Pancasila adalah roh/jiwa hukum nasional. Pancasila sebagai sistem nilai, keberadaannya abstrak, tak terlihat dengan mata kepala, tetapi keberadaan dan dan perannya dapat ditangkap dengan mata hati. Apabila Pancasila terlepas dari hukum nasional, maka hukum nasional akan mati. Kalaupun hukum nasional ada, ia sekedar merupakan zoombi (mayat hidup) yang menakutkan, merusak, dan mengganggu kenyamanan hidup dan kehidupan manusia.
Di sini tidak perlu ada kata-kata staatsfundamentalnorm sebagaimana terdapat pada stufenbau theory dari Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, maupun penyebutan Pokok-pokok kaidah negara yang fundamental dari Notonagoro.
2. Pancasila sebagai sistem nilai telah mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Tertanam dalam tradisi, sikap, perilaku, adat-istiadat dan budaya bangsa. Pancasila tergolong nilai kerohanian yang di dalamnya terkandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai materiil, nilai vital, nilai kebenaran/kenyataan, nilai aesthetis, nilai ethis/moral maupun nilai religius. Hal ini dapat terlihat pada susunan sila-sila Pancasila yang sistematis-hierarkis, yang dimulai dari sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” sampai dengan sila ke lima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
3. Kebenaran nilai-nilai Pancasila bersifat objektif-universal. Sifatnya yang demikian itu menjadikan Pancasila diterima oleh bangsa sendiri dan mengejawantah dalam bentuk hukum adat, sedangkan pada tingkat global mengejawantah dalam bentuk hukum internasional. Oleh karenanya, hukum adat dan hukum internasional terbuka bertemu dan menyatu dalam hukum nasional. Pertemuan itu perlu difasilitasi dan diatur oleh Negara dalam bentuk hukum negara, sehingga keberadaannya tidak mengganggu nasionalisme Indonesia.
4. Hukum adat, merupakan hukum asli bangsa Indonesia. Sifatnya: kedaerahan, tak tertulis, komunalistik-religius (gotong-royong). Sifat kedaerahan dan tak tertulis, dapat dipertahankan sebagai sarana mengatur dan menyelesaikan segala persoalan yang bersifat kedaerahan. Pengakuan atas sifat kedaerahan dan tak tertulis ini menjadikan beban Negara menjadi ringan. Di sinilah semboyan kebhinnekaan perlu dijaga. Sementara itu, karakter komunalistik-religius (gotong-royong) perlu dipertahankan pada tataran nasional, sehingga interaksi antar sesama masyarakat hukum adat terfasilitasi oleh hukum negara dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan RI sekaligus mewujudkan tujuan negara yang berdimensi nasional, yaitu : (a) melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan umum; dan (c) mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara singkat, karakter gotong-royong sebagai karakter asli hukum adat perlu diangkat dan ditingkatkan menjadi karakter hukum nasional melalui unifikasi hukum, sehingga hukum nasional terjauhkan dari sifat individual, liberal dan sekuler.
5. Hukum internasional, merupakan entitas hukum yang tidak mungkin kita tolak kehadirannya. Sebagai bagian dari kehidupan global, bangsa Indonesia perlu berinterkasi dengan negara-negara lain. Banyak hal kita bisa peroleh dari hubungan internasional. Satu di antaranya adalah agar eksistensi Indonesia diakui dan diterima dalam pergaulan sesama negara bermartabat. Pengakuan demikian itu penting, selain dalam rangka mempermudah perwujudan tujuan negara yang berdimensi nasional (lihat poin 4), juga untuk mewujudkan tujuan negara yang berdimensi internasional, yaitu: ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Oleh sebab itu, hukum internasional secara substansial maupun formal harus dipertimbangkan baik-baik untuk diterima dan dimasukkan sebagai bagian dari hukum nasional. Penerimaan hukum internasional tersebut tidak boleh sekali-kali untuk menghegemoni hukum nasional, melainkan sebagai upaya meningkatkan budaya dan peradaban bangsa melalui hukum nasional.
6. Hukum negara, dengan demikian bukan hukum nasional melainkan merupakan bagian dari hukum nasional, yaitu hukum yang dibuat oleh Negara (sebagai organisasi rakyat Indonesia), sebagai salah satu sarana mewujudkan Negara hukum Indonesia. Secara formal, hukum negara bersifat positif (tertulis), secara substansial bersandar pada hukum Tuhan Yang Maha Esa, berazaskan hukum adat, dan memperkaya diri dengan hukum internasional.
7. Hukum negara secara hierarkis meliputi, hukum tertinggi berupa Undang-Undang Dasar (d.h.i UUD 1945), dan seterusnya ke bawah terdapat Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP termasuk Perpu), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (Perda, baik Tingkat I maupun II). Hierarkis ini membawa konsekuensi bahwa hukum tertinggi (UUD) harus meliputi segala urusan negara, berlaku universal dan untuk tujuan jangka panjang (tak terbatas). Oleh sebab itu rumusan ketentuan dalam UUD sebatas rumusan azas-azas, dan bukan rumusan detail-operasional. Operasionalisasi substansi hukum maupun aturan main, terletak pada UU, PP, Perpres, dan Perda. Semakin ke bawah, harus semakin detail dan operasional, sehingga memungkinkan hukum dijalankan sesuai dengan konteks ruang dan waktu, situasi dan kondisi bagi masing-masing daerah maupun subjek hukum terkait.

Penutup
Pada hemat kami bahwa bernegara hukum dalam perspektif Pancasila mensyaratkan kesediaan segenap komponen bangsa untuk memupuk budaya musyawarah. Kehidupan yang nyaman dan membahagiakan, dapat diibaratkan sebagai kehidupan yang sehat. Madu dapat menjadi sarana terbaik untuk menjadikan kehidupan yang sehat itu. Selain rasanya manis, madu juga mengandung obat. Musyawarah secara maknawi berarti “mengeluarkan madu dari sarang lebah”, selanjutnya madu tersebut kita minum bersama-sama.
Lintasan sejarah kehidupan manusia telah memberikan bukti-bukti empiris bahwa melalui musyawarah, suatu bangsa dapat meraih apapun yang dipandang terbaik bagi bangsanya. Demikian halnya dengan bernegara hukum dalam perspektif Pancasila. Sila keempat:“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, secara eksplisit telah mengamatkan kepada bangsa ini agar suka bermusyawarah. Oleh sebab itu lembaga permusyawaratan perlu dihidupkan pada semua jenjang/strata sosial dan Negara, dan masing-masing lembaga diberi wewenang untuk merumuskan hukum yang terbaik bagi komunitasnya.
Sudah tentu dalam bermusyawarah harus senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip dan etika yang tercakup dalam nilai-nilai Pancasila, yaitu:
1. Proporsionalitas. Artinya, subjek maupun objek yang dimusyawarahkan harus berada dalam proporsinya masing-masing, sehingga tidak terjadi pelanggaran yuridiksi.
2. Tanggungjawab. Artinya, semua pihak bertanggungjawab untuk ikut melaksanakan semua hasil yang telah disepakati, dengan mengedepankan kepentingan nasional.
3. Ketawakalan. Artinya, setelah semua pihak terlibat bermusyawarah dengan maksimal maka terhadap hasilnya disandarkan kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, disertai kesediaan menerima segala risiko sekaligus berlindung agar dihindarkan dari munculnya risiko di luar perhitungan akal manusia.
Wallahu’alam bishowab





















Daftar Pustaka
Darmodihardjo, Dardji., Santiaji Pancasila, Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Penerbit: Usaha Nasional, Surabaya, 1979
Rahardjo, Satjipto., “58 Tahun Negara Hukum Indonesia, Negara Hukum, Proyek yang Belum Selesai, Kompas, Agustus 2003
Shihab, Quraish Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudlu’I atas Berbagai Persoalan Umat, Penerbit: Mizan, Bandung, 1996
Sudjito, PERKEMBANGAN ILMU HUKUM: DARI POSITIVISTIK MENUJU HOLISTIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM AGRARIA NASIONAL, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum pada FH UGM, tgl.28 Maret 2007





download dalam bentuk word http://www.4shared.com/account/file/137715062/2759a2ae/Negara_Hukum_Sudjito.html

CITA NEGARA HUKUM INDONESIA KONTEMPORER Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH

CITA NEGARA HUKUM INDONESIA KONTEMPORER
Oleh
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH

Abstrak: Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ Yang dibayangkan sebagai factor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Kata Kunci: .‘rechtsstaat’,‘the rule of law’, Negara Hukum

Pendahuluan
Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai factor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws” , jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah:

1. Negara harus tunduk pada hukum.
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau Negara hukum klasik, dan negara hukum materiel atau Negara hukum modern . Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti materiel yaitu ‘the rule of just law’.

Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang Negara hukum di zaman sekarang.

Dari uraian-uraian di atas, menurut pendapat saya, kita dapat merumuskan kembali adanya dua-belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya.

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law):

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.

3. Asas Legalitas (Due Process of Law):

Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

4. Pembatasan Kekuasaan:

Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

5. Organ-Organ Eksekutif Independen:

Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturann kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum, lembaga Ombudsman, Komisi Penyiaran, dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi pro-demokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan kekuasaan. Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.

6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

7. Peradilan Tata Usaha Negara:

Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.

8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):

Di samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan pembentukan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Pentingnya mahkamah konstitusi (constitutional courts) ini adalah dalam upaya memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini dibweri fungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas undang-undang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum modern.

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia:

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.

11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat):

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan tetap ‘mission driven’, tetapi ‘mission driven’ yang tetap didasarkan atas aturan.

12. Transparansi dan Kontrol Sosial:

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.

Dalam sistem konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita negara hukum yang mengandung 12 ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.



Daftar Pustaka

Plato: The Laws, Penguin Classics, edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Trevor J. Saunders.

Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962



download dalam word : http://www.4shared.com/account/file/137714994/fecf47be/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.html